MATERNAL ADJUSTMENT
(Penyesuaian Ibu)
Reva Rubin (1963) : 3 fase penyesuaian ibu :
- Fase Dependen (taking – in)
a. Terjadi pada hari 1 – 2 post partum
b. Tingkat ketergantungan ibu terhadap orang lain (dependensi) sangat tinggi
c. Ibu masih fokus pada diri sendiri
d. Ibu membutuhkan istirahat (tidur) dan makan
e. Melepas tanggung jawabnya (mempercayakan tanggung jawabnya sebagai ibu kepada orang lain) à untuk memenuhi kebutuhan istirahat dan makan
f. Kegembiraan yang berlebihan
g. Menceritakan pengalaman kehamilan sampai persalinannya
h. Beberapa ungkapan ketidaknyamanan terkait dengan episiotomi, haemorroid dan after pains
- Fase Dependen – Independen (taking hold)
a. Setelah hari 2 – 2 minggu post partum
b. Ibu mulai ada keinginan untuk tidak tergantung dengan orang lain dalam perawatan diri dan bayinya
c. Fokus sudah meluas pada bayinya (mulai antusias terhadap perawatan bayi)
d. Mulai terbuka untuk belajar cara merawat diri dan bayinya
e. Ibu memerlukan dorongan / support (primipara, wanita karier, ibu yang tidak memiliki keluarga)
- Fase Interdependen (Letting go)
a. Setelah 3 – 4 minggu post partum
b. Peningkatan kemampuan à ketidaktergantungan dalam perawatan diri dan bayinya
c. Penerimaan bahwa bayi adalah individu yang terpisah dari dirinya
d. Terjadi penyesuaian dalam hubungan keluarga (ibu dengan keluarga beriteraksi dalam suatu sistem)
e. Sering terjadi stress (terutama dalam karier dan siapa yang merawat bayinya)
PATERNAL ADJUSTMENT
(Penyesuaian Ayah)
- Ayah mulai melibatkan diri dalam perawatan bayi
- Ayah terpikat pada bayinya
- Sering mengadakan kontak (sentuhan atau kontak mata)
- Merasa ada peningkatan harga dirinya
- Merasa lebih besar, lebih tua dan lebih matang
- Merasa bangga sebagai ayah à sebagai laki-laki
INFANT – PARENT ADJUSTMENT
(Penyesuaian orang tua – bayi)
3 Karakteristik : rhythm (irama kehidupan), repertoires dan responsivity
1. Rhythm (irama kehidupan)
a. Untuk meningkatkan penerimaan terhadap irama kehidupan, orang tua harus mampu beriteraksi dengan bayi à bayi harus dalam keadaan siap
b. Keadaan siap bayi à saat menetek atau saat kontak mata
c. Orang tua harus berupaya agar keadaan siap bayi cukup panjang dan cukup untuk berinteraksi
d. Contoh : ibu yang sensitif terhadap ritme menetek bayi à tidak akan menghentikan menyusui selama bayi masih menghisap
2. Repertoires
a. Perilaku repertoires dapat memfasilitasi interaksi
b. Repertoires tergantung pada jumlah kontak dan pemberian perawatan bayi
c. Repertoires bayi :
1) Perilaku menatap
a) Bayi dapat memfokuskan tatapan dan mengikuti muka orang sejak lahir
b) Kemampuan ini di bawah kontrol sadar
2) Bersuara dan ada ekspresi muka
a) Bahasa tubuh adalah bahasa awal bayi
b) Bayi menyambut tangan ibu dengan mengangkat alis
c) Bayi dapat distimulasi untuk tersenyum dan tertawa dengan permainan
§
d. Repertoires orang tua :
1) Secara konstan mekihat bayi dan mencatat perilaku bayi
2) Berbicara seperti infantil, lambat, halus, ritmik dan berusaha agar bayi mendengar apa yang dibicarakannya. Sering mengulang-ulang frase kalimat
3) Ekspresi yang halus dan memanjang
4) Bermain dengan anak (ciluk – ba / peek – a boo)
5) Meniru perilaku bayi
3. Responsivity
a. Terjadi pada waktu khusus dan sama dalam suatu stimulasi perilaku
b. Seorang dewasa melihat perilaku bayi tersenyum, bersuara sebagai kesatuan respon
SIBLING ADJUSTMENT
(Penyesuaian saudara kandung)
- Memperkenalkan bayi pada keluarga (kakaknya) à dapat menimbulkan kesulitan
- Orang tua dalam melakukan tigas merawat bayinya à sering menimbulkan perasaan berbeda terhadap anaknya yang lain.
- Orang tua harus mampu membagi perhatian pada semua anaknya :
a. Anak I à cenderung bersikap dirinya sebagai pemimpin
b. Anak yang dibawahnya à merasa lebih superior dari pada adik bayinya
c. Usia 3 tahun, ada kecemburuan terhadap adik bayinya (meminta ibu membuang adik bayinya di tong sampah atau di luar rumah)
- Perilaku regresi atau infantil dapat muncul kembali apad kakak bayi
- Cemburu (sibling rivalry) ketika bayi menyita waktu ibu dan ayahnya
- Tugas orang tua dalam mengurangi sibling rivalry :
a. Buatlah anak yang lebih besar merasa tetap dicintai dan diperlukan
b. Memanage rasa bersalah, ketika anak yang tua kehilangan waktu dan perhatian dari orang tua
c. Kembangkan rasa percaya diri pada anak yang tua à bahwa ibu dapat merawat anak lebih dari satu
d. Atur waktu dan ruang à untuk mengakomodasi bayi
e. Monitor perilaku anak yang tua dari perilaku menyimpang atau perilaku agresif
POST PARTUM BLUES
Awitan ‘Post Partum Blues’
1. Terjadi pada 50 – 80 % ibu ‘post partum’ dengan gambaran yang sama yaitu distress emosional (Bennet & Brown, 1999; Kime, 1992).
2. Kime, 1992; Sellers, 1993; Bennet & Brown, 1999; Olds, 1999 à Muncul pada beberapa hari setelah persalinan, biasanya pada hari ketiga atau keempat
3. Reeder, 1997 à beberapa ibu mengalami ‘post partum blues’ ini pada hari kedua atau ketiga setelah persalinan dan menghilang pada minggu pertama atau kedua
4. Jika menetap setelah minggu kedua ‘post partum’ menurut Olds (1999), akan berkembang menjadi ‘depresi post partum’ dan dapat berkurang dengan keterlibatan tenaga kesehatan (Reeder, 1997).
Penyebab ‘Post Partum Blues’
1. Secara pasti sampai saat ini belum diketahui.
2. Perubahan hormonal yang terjadi pada periode segera setelah melahirkan (‘immediate post partum’) sering dianggap sebagai penyebab utama (Sellers, 1993; Olds, 1999).
3. Penurunan sirkulasi hormon estrogen dan progesteron secara dramatis setelah pelepasan plasenta (Bennett & Brown, 1999).
4. Harris (1996, dalam Bennett & Brown, 1999) telah melakukan studi pada 120 ibu primipara dan menemukan adanya hubungan antara tingkat kortisol yang rendah dari sejak persalinan sampai dengan 10 hari ‘post partum’ dengan ibu yang terdiagnosa depresi pada minggu keenam.
5. Olds, 1999 à penyebab‘post partum blues’ :
a. Pengalaman menjadi ibu baru juga berperan terhadap kejadian
b. Ego dan penyesuaian sosial ibu sangat membantu perubahan peran sebagai ibu baru.
c. Kelelahan dan kegelisahan ibu juga berkontribusi memperberat kondisi ini.
6. Adams (1983) menggolongkan penyebab ‘post partum blues’ ini menjadi 3 (tiga) hal besar, yaitu : ‘biogenik’, ‘psikogenik’ serta lingkungan dan budaya.
a. ‘Biogenik’, lebih banyak terkait dengan perubahan fisiologis, hormonal dan biokimiawi pada ibu post partum.
b. ‘Psikogenik’, dihubungkan dengan dekompensasi ego, ancaman selama kehamilan dan persalinan, ketegangan pada awal kelahiran bayi serta konflik yang muncul, ambivalensi, serta toleransi yang rendah terhadap nyeri.
c. Faktor lingkungan yang berkontribusi terjadinya ‘post partum blues’ adalah beberapa kondisi yang mempengaruhi penyesuaian ‘post partum’ seperti masalah finansial, kesulitan peran sebagai orang tua, kesulitan koping dengan tanggung jawab baru dalam perawatan bayi, serta adanya kesakitan atau kematian dari anggota keluarga.
d. Faktor budaya yang dapat mempengaruhi kejadian ‘post partum blues’, seperti tradisi, ritual dan pola perilaku yang berlaku di masyarakat dan harus diikuti oleh ibu.
7. Sellers (1993) menyebutkan 6 (enam ) faktor yang spesifik mempengaruhi kejadian ‘post partum blues’
a. Pengalaman melahirkan yang tidak memuaskan yang dapat meningkatkan perasaan ibu
b. Penerimaan setelah kelahiran bayi dan kejadian yang tidak diantisipasi sebelumnya dapat menimbulkan ketegangan dan menjadikan ibu mudah menangis
c. Perasaan tanggung jawab terhadap bayi
d. Perilaku bayi, seperti tangisan bayi yang terus menerus, dapat membuat ibu merasa sedih
e. Kesulitan koping pasca melahirkan, seperti kemampuan perawatan bayi yang masih kurang sering membuat ibu merasa kecewa
f. Konflik dengan petugas kesehatan (perawat/bidan) dan rutinitas rumah sakit juga dapat meningkatkan kejadian ‘post partum blues’.
Manifestasi Klinis ‘Post Partum Blues’
1. Sellers (1993) adalah adanya kesedihan tanpa alasan yang nyata.
2. Kime (1992); Reeder (1997); Olds (1999) menyebutkan gejala ‘post partum blues’ meliputi: kegundahan (goncangan) mood, perasaan tidak nyaman tanpa alasan yang jelas, mudah marah, mudah menangis, perasaan kecewa, merasa dirinya tidak mampu, anoreksia dan sulit tidur.
3. Kennerley dan Gath (1989, dalam Bobak & Jensen, 1993) menjelaskan bahwa ada 7 (tujuh) gejala ‘post partum blues’, yaitu:’ mood swings’ (goncangan mood), merasa rendah/tidak mampu, kecemasan emosi yang berlebihan, sedih, lemah, bingung dan berfikir kacau.
4. Handley dan O’Hara dalam Wratsangka (1996) merumuskan ada tujuh kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan adanya ‘post partum blues’ yaitu meliputi : 1). reaksi depresi/sedih/’disforia’, 2). labilitas perasaan, 3). menangis, 4). cemas, 5). gangguan tidur, 6). gangguan nafsu makan, dan 7). ‘irritabilitas’ (mudah tersinggung).
DEPRESI POST PARTUM
Awitan ‘Depresi Post Partum’
1. Bennet & Brown, 1999; Kime, 1992. à ‘Depresi post partum’ terjadi pada satu dari sepuluh (1:10) ibu ‘post partum’ dengan gambaran yang sama yaitu ‘distress’ emosional
2. Kime, 1992 à Depresi ini dapat terjadi dalam beberapa hari setelah persalinan dan kadang-kadang menetap sampai satu tahun.
3. Olds (1999) à depresi ini sering berkembang setelah minggu kedua ‘post partum’ dan dapat berkurang dengan keterlibatan tenaga kesehatan, tetapi kadang-kadang juga muncul secara lambat yaitu pada minggu ketiga dan keenam ‘post partum’, dan jika menetap dapat terjadi sampai tahun pertama kehidupan bayi.
4. Reeder, 1997 à Kira-kira satu dari empat ibu tercatat bahwa tingkat tertinggi ‘depresi post partum’ terjadi pada delapan bulan ‘post partum’.
Penyebab ‘Depresi Post Partum’
1. Reeder, 1997; Olds, 1999 à Depresi ini berawal dari ketidakmampuan ibu dan berhubungan dengan HDR
2. Bennett dan Brown (1998) à penyebab dari ‘depresi post partum’ adalah sangat kompleks, tetapi kemungkinan diprovokasi oleh :
a. Peningkatan kebutuhan yang berlebihan.
b. Perubahan dan stressor yang berhubungan dengan proses persalinan serta transisi menjadi orang tua
c. Pengalaman atau riwayat kejadian stress di sekitar waktu persalinan, seperti pindah rumah, proses kehilangan atau hubungan keluarga yang tidak harmonis
3. Menurut Ball (1994, dalam Bennett & Brown, 1998)
a. Harga diri rendah
b. Kurangnya support dan stress merupakan faktor/aspek pasti dari ‘post partum’ yang berkontribusi terhadap kejadian depresi.
4. Mc Intosh (1993, dalam Bennett & Brown, 1998) menyebutkan bahwa persepsi perempuan yang biasanya merupakan penyebab ‘depresi post partum’ adalah kebutuhan menjadi ibu, kurangnya dukungan dan hilangnya kebebasan personal.
Manifestasi Klinis ‘Depresi Post Partum’
1. Bennett & Brown, 1998; Olds,1999; Kime,1992 à Gejala dari ‘depresi post partum’ sama dengan gejala depresi secara umum, yaitu :
a. gelisah, cemas, panik
b. kelemahan dan kelelahan
c. sedih, muram, tak ada harapan
d. nafsu makan menurun, gangguan tidur
e. kurang konsentrasi, bingung, kehilangan memori
f. perhatian yang berlebihan terhadap bayinya
g. menangis yang tak terkontrol, mudah terangsang (irritable)
h. kurang tertarik dengan bayinya; i). merasa bersalah, kecewa, tidak adekuat, tidak berharga
i. takut terhadap bahaya pada dirinya dan bayinya
j. sikap yang berlebih-lebihan
k. tidak tertarik terhadap bayinya
2. Kime (1992) gejala yang muncul pada ibu yang mengalami ‘depresi post partum’ à dapat satu atau kombinasi dari beberapa gejala diatas. Meskipun gejala ‘depresi post partum’ pada setiap ibu tidak sama, semua gejala yang muncul hampir sama yaitu berupa distress dan sering dianggap hampir seperti orang gila.
Penatalaksanaan ‘Depresi Post Partum’
1. Kime (1992) penatalaksanaan ‘depresi post partum’ à sangat bervariasi tergantung pada tipe dan berat ringannya gejala yang muncul. Semua gejala baik yang ringan, sedang maupun berat dapat ditangani dengan dukungan dan bantuan dari tenaga profesional kesehatan.
2. Bobak dan Jensen (1993) à perawat dapat membantu mencegah kejadian ‘depresi post partum’ dengan :
a. Mengenali kondisi kejiwaan ibu
b. Membantu ibu mengungkapkan perasaannya
c. Memberikan dukungan dan pengertian
d. Perawat dapat menjelaskan kepada ibu dan keluarganya bahwa depresi disebabkan oleh perubahan hormon, reaksi emosional terhadap peralihan peran, kecemasan dan kelelahan.
e. Dukungan untuk dapat memulai tugas-tugas sebagai ibu dengan baik adalah
f. Mendorong ibu memenuhi kebutuhan istirahat dan nutrisi
i. Holden, 1989
Penanganan ‘depresi post partum’ melalui konseling yang dilakukan oleh tenaga terlatih telah banyak dilakukan dan membawa hasil yang baik dalam menurunkan berlanjutnya ‘depresi post partum’
3. Bobak & Jensen, 1993 à ‘Depresi post partum’ dapat terjadi setelah ibu pulang dari rumah sakit, sehingga perawat sebaiknya :
a. Selalu melibatkan pasangan agar memberikan intervensi yang bersifat mendukung ibu dan memberikan kesempatan ibu untuk mengungkapkan hal-hal yang menjadi perhatiannya.
b. Melibatkan perawat/bidan yang terdekat dengan rumah klien, melakukan kunjungan rumah, dan melibatkan perawat jiwa/komunitas atau pekerja sosial, serta membantu ibu untuk berhubungan dengan peer group-nya)
4. Bennett & Brown, 1998
Ketika depresi berlanjut, sebaiknya ibu dibawa ke rumah sakit jiwa untuk menghindarkan kemungkinan berlanjut ke psikosis
Pencegahan ‘Depresi Post Partum’
1. Alfiben, Wignyosastro, Elvira (2000) à upaya pencegahan ‘depresi post partum’:
Pendidikan ante natal
2. Penelitian lain (Wolman, 1993) :
Membuktikan bahwa wanita melahirkan yang didampingi selama persalinan baik oleh suami maupun tenaga khusus yang dilatih untuk itu menunjukkan keuntungan yang sangat banyak antara lain menurunnya tindakan persalinan dan juga rendahnya ‘depresi post partum’